https://id.wikipedia.org/wiki/Kartini |
Apakah yang dibayangkan?
Apakah yang terpikirkan?
Apakah yang teringatkan?
Apakah yang tergambarkan?
Okay, Okaaay!!! Mungkin jawabannya gak bakalan jauh dengan apa dan bagaimana seperti yang Etha pikirkan pula.
Mendengar, mengingat, membayangkan kata "Kartini", maka akan selintas teringat tentang sebuah lagu : Ibu Kita Kartini. Masih ingatkah syairnya? Yuk nyanyi bentar ajaaa!!! 1...2...3...
Ibu kita Kartini
Putri sejati
Putri Indonesia
Harum namanya
Ibu kita Kartini
Pendekar bangsa
Pendekar kaumnya
Untuk merdeka
Wahai ibu kita Kartini
Sungguh besar cita-citanya
Bagi Indonesia
Nahhh, selain lagu, maka hal lainnya yang bakal terbayang teringat bila menyebutkan nama Ibu Kartini, akan teringat tentang sebuah buku, yang merupakan kumpulan dari surat-surat yang Beliau kirimkan untuk sahabat-sahabat yang ada di Eropa, Habis Gelap Terbitlah Terang dengan judulnya aslinya Door Duisternis Tot Licht (yang bila diterjemahkan artinya adalah Dari kegelapan menuju cahaya), yang diterbitkan oleh Tuan J.H. Abendanon, seorang Menteri Kebudayaan, Keagamaan, dan Kerajinan pada Kerajaan Hindia Belanda.
Selain itu, kalo menyebut Kartini, maka akan teringat sesosok perempuan Jawa yang anggun, seorang bangsawan yang sangat sederhana, tetapi pintar serta mempunyai tekad serta impian yang kuat tentang kemajuan seorang wanita. Perempuan Jawa yang menjunjung nilai budaya, tetapi juga memiliki pemikiran yang melampaui pemikiran wanita pada masanya.
Menyebut Kartini, berarti juga menyebut tradisi dan budaya. Tradisi wanita Jawa pada masanya, dan bahkan mungkin hingga saat ini masih ada dan berjalan. Budaya untuk menggunakan baju adat. Kartini berarti Kebaya. Kartini berarti kesederhanaan. Tampilan sederhana untuk seorang wanita luar biasa yang juga menjunjung tinggi budaya dan adat istiadatnya. Di satu sisi, Kartini berusaha mendobrak tradisi lama, yang kebanyakan mendiskriminasikan wanita, yang seringkali menempatkan wanita hanya di "belakang" kaum pria. Tak layak mendapatkan pendidikan dan pengakuan haknya. Namun di sisi lain, Beliau harus "merelakan" dirinya ditempatkan sebagai istri dari Bupati Rembang, K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat, yang telah memiliki 3 orang istri. Kondisi yang amat sangat berbeda dan tak sejalan dengan pemikiran dan perjuangannya. Namun, walaupun begitu, suaminya memahami pemikiran dan keinginannya, sehingga Kartini diberi kesempatan untuk mendirikan sekolah wanita.
So, relevannya dengan kehidupan kita, wanita masa kini, perjuangan Kartini, menjadi penanda peringatan, penguat kita, untuk berani menjadi diri sendiri, pribadi yang berwawasan, juga tak melupakan tradisi dan budaya. Kita boleh menempati posisi penting dan setinggi apapun yang terkait dalam pekerjaan, tetapi tak pula melupakan kodrat kita sebagai wanita. Sebagai pendamping dan partner hidup pasangan, tetapi tak melupakan pula bahwa kita juga bisa mampu dan punya hak untuk mengeksplore diri.
Selamat Hari KARTINI yang kekinian πͺπͺπͺ
No comments:
Post a Comment