Rangking  23 ini etha dapetin pas lagi mau bersihin inbox di email,,copas dari  salah seorang member yang ngirimin cerita ini ke milis yang etha ikutin.  jadi ceritanya etha sekalian mau ijin share this story ya :) Selamat  membaca :)
Di  kelasnya ada 50 orang murid, setiap kali ujian, anak perempuanku tetap  mendapat ranking ke-23. Lambat laun membuat dia mendapatkan nama  panggilan dengan nomor ini, dia juga menjadi murid kualitas menengah  yang sesungguhnya.
Sebagai orangtua, kami merasa nama panggilan ini kurang enak didengar,namun anak kami ternyata menerimanya dengan senang hati.
Suamiku  mengeluhkan ke padaku, setiap kali ada kegiatan di perusahaannya atau  pertemuan alumni sekolahnya, setiap orang selalu memuji-muji "Superman  cilik" di rumah masing-masing, sedangkan dia hanya bisa menjadi  pendengar saja.
Anak  keluarga orang, bukan saja memiliki nilai sekolah yang menonjol, juga  memiliki banyak keahlian khusus. Sedangkan anak nomor 23 di keluarga  kami tidak memiliki sesuatu pun untuk ditonjolkan. Dari itu, setiap kali  suamiku menonton penampilan anak-anak berbakat luar biasa dalam acara  televisi, timbul keirian dalam hatinya sampai matanya bersinar-sinar.
Kemudian  ketika dia membaca sebuah berita tentang seorang anak berusia 9 tahun  yang masuk perguruan tinggi, dia bertanya dengan hati pilu kepada anak  kami: Anakku, kenapa kamu tidak terlahir sebagai anak dengan kepandaian  luar biasa? Anak kami menjawab: Itu karena ayah juga bukan seorang ayah  dengan kepandaian luar biasa. Suamiku menjadi tidak bisa berkata apa-apa  lagi, saya tanpa tertahankan tertawa sendiri.
Pada  pertengahan musim gugur, semua sanak keluarga berkumpul bersama untuk  merayakannya, sehingga memenuhi satu ruangan besar di restoran. 
Topik  pembicaraan semua orang perlahan-lahan mulai beralih kepada anak  masing-masing. Dalam kemeriahan suasana, anak-anak ditanyakan apakah  cita-cita mereka di masa mendatang? Ada yang menjawab akan menjadi  pemain piano, bintang film atau politikus, tiada seorang pun yang  terlihat takut mengutarakannya di depan orang banyak, bahkan anak  perempuan berusia 4½ tahun juga menyatakan kelak akan menjadi seorang  pembawa acara di televisi, semua orang bertepuk tangan mendengarnya.
Anak  perempuan kami yang berusia 15 tahun terlihat sibuk sekali sedang  membantu anak-anak kecil lainnya makan. Semua orang mendadak teringat  kalau hanya dia yang belum mengutarakan cita-citanya kelak. Di bawah  desakan orang banyak, akhirnya dia menjawab dengan sungguh-sungguh:  Kelak ketika aku dewasa, cita-cita pertamaku adalah menjadi seorang guru  TK, memandu anak-anak menyanyi, menari dan bermain-main.
Demi  menunjukkan kesopanan, semua orang tetap memberikan pujian, kemudian  menanyakan akan cita-cita keduanya. Dia menjawab dengan besar hati: Saya  ingin menjadi seorang ibu, mengenakan kain celemek bergambar Doraemon  dan memasak di dapur, kemudian membacakan cerita untuk anak-anakku dan  membawa mereka ke teras rumah untuk melihat bintang-bintang. Semua sanak  keluarga tertegun dibuatnya, saling pandang tanpa tahu akan berkata apa  lagi. Raut muka suamiku menjadi canggung sekali.
Sepulangnya  kami ke rumah, suamiku mengeluhkan ke padaku, apakah aku akan  membiarkan anak perempuan kami kelak menjadi guru TK? Apakah kami tetap  akan membiarkannya menjadi murid kualitas menengah?
Sebetulnya,  kami juga telah berusaha banyak. Demi meningkatkan nilai sekolahnya,  kami pernah mencarikan guru les pribadi dan mendaftarkannya di tempat  bimbingan belajar, juga membelikan berbagai materi belajar untuknya. 
Anak  kami juga sangat penurut, dia tidak membaca komik lagi,tidak ikut kelas  origami lagi, tidur bermalas-malasan di akhir minggu juga tidak  dilakukan lagi. 
Bagai  seekor burung kecil yang kelelahan, dia ikut les belajar sambung  menyambung, buku pelajaran dan buku latihan dikerjakan tanpa henti. 
Namun  biar bagaimana pun dia tetap seorang anak-anak, tubuhnya tidak bisa  bertahan lagi dan terserang flu berat.Biar sedang diinfus dan terbaring  di ranjang, dia tetap bersikeras mengerjakan tugas pelajaran, akhirnya  dia terserang radang paru-paru. Setelah sembuh, wajahnya terlihat kurus  banyak. Akan tetapi ternyata hasil ujian semesternya membuat kami tidak  tahu mau tertawa atau menangis, tetap saja nomor 23.
Kemudian,  kami juga mencoba untuk memberikan penambah gizi dan rangsangan hadiah,  setelah berulang-ulang menjalaninya, ternyata wajah anak perempuanku  semakin pucat saja. 
Apalagi,  setiap kali akan ujian, dia mulai tidak bisa makan dan tidak bisa  tidur, terus mencucurkan keringat dingin, terakhir hasil ujiannya malah  menjadi nomor 33 yang mengejutkan kami. Aku dan suamiku secara diam-diam  melepaskan aksi menarik bibit ke atas demi membantunya tumbuh ini.
Dia  kembali pada jam belajar dan istirahatnya yang normal, kami  mengembalikan haknya untuk membaca komik, mengijinkannya untuk  berlangganan majalah "Humor anak-anak" dan sejenisnya, sehingga rumah  kami menjadi tenteram kembali. Kami memang sangat sayang pada anak kami  ini, namun kami sungguh tidak mengerti akan nilai sekolahnya.
Pada  akhir minggu, teman-teman sekerja pergi rekreasi bersama. Semua orang  mempersiapkan lauk terbaik dari masing-masing, dengan membawa serta  suami dan anak untuk piknik. Sepanjang perjalanan penuh dengan tawa dan  guyonan, ada anak yang bernyanyi, ada juga yang memperagakan karya seni  pendek. 
Anak kami tiada keahlian khusus, hanya terus bertepuk tangan dengan gembira. 
Dia  sering kali lari ke belakang untuk menjaga bahan makanan. Merapikan  kembali kotak makanan yang terlihat agak miring, mengetatkan tutup botol  yang longgar atau mengelap jus sayuran yang bocor ke luar. Dia sibuk  sekali bagaikan seorang pengurus rumah tangga cilik.
Ketika  makan terjadi satu kejadian di luar dugaan. Ada dua orang anak lelaki,  satunya adalah bakat matematika, satunya lagi adalah ahli bahasa  Inggris. Kedua anak ini secara bersamaan menjepit sebuah kue beras ketan  di atas piring, tiada seorang pun yang mau melepaskannya, juga tidak  mau membaginya. Walau banyak makanan enak terus dihidangkan, mereka sama  sekali tidak mau peduli. Orang dewasa terus membujuk mereka, namun  tidak ada hasilnya. Terakhir anak kami yang menyelesaikan masalah sulit  ini dengan cara sederhana yaitu lempar koin untuk menentukan siapa yang  menang.
Ketika  pulang, jalanan macet dan anak-anak mulai terlihat gelisah. Anakku  terus membuat guyonan dan membuat orang-orang semobil tertawa tanpa  henti. Tangannya juga tidak pernah berhenti, dia mengguntingkan banyak  bentuk binatang kecil dari kotak bekas tempat makanan, membuat anak-anak  ini terus memberi pujian. Sampai ketika turun dari mobil bus, setiap  orang mendapatkan guntingan kertas hewan shio masing-masing.
Ketika mendengar anak-anak terus berterima kasih, tanpa tertahankan pada wajah suamiku timbul senyum bangga.
Sehabis ujian semester, aku menerima telpon dari wali kelas anakku.
Pertama-tama  mendapatkan kabar kalau nilai sekolah anakku tetap kualitas menengah.  Namun dia mengatakan ada satu hal aneh yang hendak diberitahukannya, hal  yang pertama kali ditemukannya selama 30 tahun mengajar.
Dalam  ujian bahasa ada sebuah soal tambahan, yaitu siapa teman sekelas yang  paling kamu kagumi dan alasannya. Selain anakku, semua teman sekelasnya  menuliskan nama anakku.
Alasannya  sangat banyak: antusias membantu orang, sangat memegang janji, tidak  mudah marah, enak berteman, dan lain-lain, paling banyak ditulis adalah  optimis dan humoris. Wali kelasnya mengatakan banyak usul agar dia  dijadikan ketua kelas saja. 
Dia  memberi pujian: Anak anda ini, walau nilai sekolahnya biasa-biasa saja,  namun kalau bertingkah laku terhadap orang, benar-benar nomor satu.
Saya  berguyon pada anakku, kamu sudah mau jadi pahlawan. Anakku yang sedang  merajut selendang leher terlebih menundukkan kepalanya dan berpikir  sebentar, dia lalu menjawab dengan sungguh-sungguh: "Guru pernah  mengatakan sebuah pepatah, ketika pahlawan lewat, harus ada orang yang  bertepuk tangan di tepi jalan." 
Dia  pelan-pelan melanjutkan: "Ibu, aku tidak mau jadi Pahlawan aku mau jadi  orang yang bertepuk tangan di tepi jalan." Aku terkejut mendengarnya  dan mengamatinya dengan seksama.
Dia  tetap diam sambil merajut benang wolnya, benang warna merah muda  dipilinnya bolak balik di jarum bambu, sepertinya waktu yang berjalan di  tangannya mengeluarkan kuncup bunga. Dalam hatiku terasa hangat  seketika. 
Pada  ketika itu, hatiku tergugah oleh anak perempuan yang tidak ingin  menjadi pahlawan ini. Di dunia ini ada berapa banyak orang yang  bercita-cita ingin menjadi pahlawan, namun akhirnya menjadi seorang  biasa di dunia fana ini. 
Jika  berada dalam kondisi sehat, jika hidup dengan bahagia, jika tidak ada  rasa bersalah dalam hati, mengapa anak-anak kita tidak boleh menjadi  seorang biasa yang baik hati dan jujur.
Jika  anakku besar nanti, dia pasti akan menjadi seorang isteri yang berbudi  luhur, seorang ibu yang lemah lembut, bahkan menjadi seorang teman kerja  yang suka membantu, tetangga yang ramah dan baik. Apalagi dia  mendapatkan ranking 23 dari 50 orang murid di kelasnya, kenapa kami  masih tidak merasa senang dan tidak merasa puas? Masih ingin dirinya  lebih hebat dari orang lain dan lebih menonjol lagi? Lalu bagaimana  dengan sisa 27 orang anak-anak di belakang anakku? Jika kami adalah  orangtua mereka, bagaimana perasaan kami?
---------------------
Anakmu bukan milikmu.
Mereka putra putri sang Hidup yang rindu pada diri sendiri,
Lewat engkau mereka lahir, namun tidak dari engkau,
Mereka ada padamu, tapi bukan hakmu.
Berikan mereka kasih sayangmu, tapi jangan sodorkan bentuk pikiranmu,
Sebab mereka ada alam pikiran tersendiri.
Patut kau berikan rumah untuk raganya,
Tapi tidak untuk jiwanya,
Sebab jiwa mereka adalah penghuni rumah masa depan, yang tiada dapat kau kunjungi meski dalam mimpi.
Kau boleh berusaha menyerupai mereka,
Namun jangan membuat mereka menyerupaimu
Sebab kehidupan tidak pernah berjalan mundur,
Pun tidak tenggelam di masa lampau.
Kaulah busur, dan anak-anakmulah
Anak panah yang meluncur.
Sang Pemanah Maha Tahu sasaran bidikan keabadian.
Dia merentangmu dengan kekuasaan-Nya,
Hingga anak panah itu melesat, jauh serta cepat.
Meliuklah dengan suka cita dalam rentangan tangan Sang Pemanah,
Sebab Dia mengasihi anak-anak panah yang melesat laksana kilat
Sebagaimana pula dikasihiNya busur yang mantap.
- Khalil Gibran
 
 
No comments:
Post a Comment